Tidak terasa sudah satu jam perjalanan ini berlalu. Aku duduk persis disebelah dosenku yang masih muda, tampan, pintar, dan baik hati. Namanya adalah Yuniar Ponco Prananto atau biasa disebut pak ponco. Beliau orangnya sangat baik hati, akrab dengan mahasiswanya, dan cocok sekali jika diajak untuk bertukar pikiran. Walaupun pada dasarnya kita memang sudah akrab di kampus maupun di HMK (Himpunan Mahasiswa Kimia), namun tetap saja ada kesan canggung dan sungkan jika ingin mengajak beliau ngobrol atau sekedar bercanda. Maklumlah, bagaimanapun beliau adalah seorang dosen dan aku tahu batasan sopan santun dengan yang l;ebih tua. Selain itu, di rombongan ini hanya aku seorang angkatan tertua yang itu berarti bahwa aku yang paling tua dalam rombongan ini setelah dosenku. Lengkap sudah bagaimana perjalananku kedepan nantinya bakal aku manfaatkan untuk menyendiri. Namun, bukan berarti aku tidak dapat akrab dengan adik tingkat. Alhamdulilah, aku mampu membuat suasana lebih riang di dalam bus karena lelucon atau humor-humor ringan yang aku lontarkan. Lumayanlah, walaupun hatiku selalu tersayat-sayat oleh derita akibat kerasnya kehidupan, aku harus mampu membuat orang lain tertawa atau senang berada disisiku karena dengan begitu aku akan ikut tersenyum dan teringankan beban hidupku.
Saat melewati daerah Kejayan - Pasuruan untuk mengunjungi salah satu pabrik produksi perusahaan tertentu disini, entah mengapa aku selalu diam membisu. Ada kegalauan sesaat yang aku rasa di daerah ini. Iya, salah satu seseorang yang aku kenal juga sedang PKL disini tidak jauh dari perusahaan yang aku kunjungi. Bukan karena apa-apa, mungkin aku sendiri yang kelewat kawatir dengan kondisinya saat itu, aku tidak tega karena suatu alasan. Tapi dilain sisi, aku seperti memunafikkan keadaanku sendiri, disaat aku memberikan perhatian lebih kepada seseorang belum tentu dia peduli juga kepadaku. Siapakah sekarang yang begitu maksimal sepertiku memberikan kepedulian pada orang lain. Seharusnya aku sadari itu, tetapi kembali lagi, aku tak berdaya oleh keadaan ini, karena kelemahanku dan kebodohanku sendiri. Aku bingung saat itu.
Lambat laun bus ini terus menerjang jalan raya mulai dari pesisir pantai hingga hutan belantara, dari pedesaan hingga perkotaan, dari Kota Surabaya hingga kota Jakarta perjalanan ini kunikmati. Aku merenungi kembali perjalanan ini. Banyak wajah-wajah lalu lalang dipinggir jalan dengan berbagai warna dan kerasnya hidup. Lihat itu, anak-anak sekolah berlarian mengejar jam waktu masuk sekolah yang sudah habis mengejar keterlambatan, petani yang menyemai padi di sawah tanpa sedikitpun mengeluh karena arus modernisasi yang mampu menggilas habis lading sawahnya, seorang ibu penjual gorengan di POM Bensin tanpa peduli sengatan matahari beliau terus menajajakan gorengannya pada kami walaupun tak banyak yang membeli dagangannya, ta’mir masjid yang rela dengan ihklas membersihkan masjid tanpa meminta imbalan, dan masih banyak lagi warna kehidupan ini yang patut kita renungkan bersama. Dari sini aku sadari bahwa aku perlu mensyukuri nikmat dunia ini yang diberikan Allah kepadaku. Allah, aku menundukkan kepalaku saat itu mensyukuri nikmat yang selalu engkau berikan kepadaku. Aku terlalu banyak mengeluh kepadamu, Ya Allah. Tak sedikitpun aku memikirkan nikmat ini Ya Allah. Maafkan aku Ya Allah. Satu hal yang dapat aku tarik pelajaran baru disini bahwa: sekali lagi, Allah swt akan selalu memberikan jalan yang terbaik pada hambanya dan memberikan cobaan sesuai dengan kemampuan hambanya sebagai wujud rasa sayangnya kepada hambanya yang tabah.
Tiba di Kota Jakarta yang begitu padat, mewah, keras, dan panas lengkap sudah penjelasan yang menggambarkan situasi ibukota Negara ini. Begitu padat dan sumpek. Orang-orang berseliweran dijalanan mengejar deadline-nya masing-masing. Begitu sibuk sekali. Tiba di Masjid Istiqlal Jakarta yang begitu megah aku panjatkan takbir kepadamu karena mewahnya masjid ini, masjid yang sempat menjadi masjid terbesar se-Asian Tenggara.