FlashVortex

Senin, 18 Juni 2012

Syetan Bangga Jika Dicaci, Karenanya Mencacimaki Syetan Tidak Boleh


Oleh: Badrul Tamam

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya. Ketika tersandung batu, terpeleset, terjatuh atau terantuk sesuatu yang membuat sakit, sering meluncur dari lisan kita kalimat-kalimat umpatan seperti "Syetan!" (ungkapan kekesalan), atau "Syetan sialan." Seolah-olah syetan ada di balik semua ini, karenanya dialah yang harus disalahkan.
Memang syetan senantiasa berusaha menimpakan keburukan kepada umat manusia karena kedengkiannya. Terutama supaya manusia merugi dan sengsara dunia akhriat. Karenanya, syetan berusaha keras untuk menyesatkan umat manusia dari jalan hidayah supaya kelak menjadi temannya di neraka yang menyala-nyala.  Allah Ta'ala berfirman:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
"Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala." (QS. Faathir: 6)
Tapi, menyalah-nyalahkan syetan dengan kalimat-kalimat umpatan bukan sebuah kebaikan.
Diriwayatkan dari Abu Malih. Ada seseorang bercerita kepada Abu Malih. Ia berkata: "Saya pernah naik Unta bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Kemudian Unta beliau terpeleset, tanpa sadar saya berkata, تَعِسَ الشَّيْطَانُ "Celakalah syetan." Lalu Rasullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

لَا تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولُ بِقُوَّتِي وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّبَابِ
"Jangan kamu katakan "celaka Syetan", sebab jika kamu katakan itu badan syetan akan semakin membesar sehingga sebesar rumah seraya berkata, ‘dengan kekuatanku (aku menggelincirkan dia.’ Tetapi katakanlah, ’Dengan menyebut nama Allah’. Bila kamu berkata demikian, maka badan syetan akan mengecil hingga sekecil lalat." (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Nasai, al-Thabrani, al-Baihaqi, dan al-Hakim. Dishahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, beliau berkata, "Shahihul Isnad", no.3128, 3129.)
Menyebut nama Allah-lah yang pantas diucapkan oleh seorang muslim sebagai bentuk keyakinannya bahwa tidak ada yang terjadi di muka bumi kecuali atas izin-Nya. Bukan berarti dengan menyebut nama Allah, Allah disalah-salahkan. Sekali lagi tidak, tapi sebagai ungkapan keyakinan bahwa semua itu dengan izin Allah. Tentunya harus disertai juga dengan keyakinan bahwa apa yang Allah timpakan atas orang muslim hakikatnya membawa kebaikan. Boleh jadi musibah yang menimpa seorang muslim itu sebagai kafarah atas dosa dan kesalahannya atau sebagai ujian dari Allah untuk meninggikan derajatnya. Diriwayatkan dari Mu'awiyah radliyallah 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَا مِنْ شَيْءٍ يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ فِي جَسَدِهِ يُؤْذِيهِ إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ عَنْهُ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ
"Tidak ada sesuatu yang menimpa seorang mukmin pada tubuhnya sehingga membuatnya sakit kecuali Allah akan menghapuskan dosa-dosanya." (HR. Ahmad 4/98, Al-Hakim 1/347 Mu'awiyah radliyallah 'anhu. Al-Hakim menyatakan shahih sesuai syarat Syaikhain. Imam al-Dzahabi menyepakatinya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam al-Shahihah 5/344, no. 2274). Diriwayatkan juga dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
مَا يُصِيبُ الْمُسْلمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
"Tidaklah menimpa seorang muslim kelelahan, sakit, kekhawatiran, kesedihan, gangguan dan duka, sampai pun duri yang mengenai dirinya, kecuali Allah akan menghapus dengannya dosa-dosanya.” (Muttafaqun'alaih)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata dalam Syarh Riyadhish Shalihin (1/94): “Apabila engkau ditimpa musibah maka janganlah engkau berkeyakinan bahwa kesedihan atau rasa sakit yang menimpamu, sampaipun duri yang mengenai dirimu, akan berlalu tanpa arti. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menggantikan dengan yang lebih baik (pahala) dan menghapuskan dosa-dosamu dengan sebab itu. Sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya. Ini merupakan nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga, bila musibah itu terjadi dan orang yang tertimpa musibah itu mengingat pahala dan mengharapkannya, maka dia akan mendapatkan dua balasan, yaitu menghapus dosa dan tambahan kebaikan (sabar dan ridha terhadap musibah)."
Sementara Mengungkapkan kekesalan dengan mencaci maki syetan tidak akan membawa kebaikan. Selain tidak berpahala karena tidak mengembalikan urusan kepada Allah dan tidak sabar atas takdir-Nya, perbuatan tersebut malah membuat syetan merasa senang dan sombong. Syetan akan merasa bahwa kejadian itu ada karena kekuatan yang dimilikinya. Dan selayaknya, seorang muslim yang memproklamirkan syetan sebagai musuh abadinya tidak mau membuat syetan senang dan berbangga. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga pernah berpesan secara khusus agar tidak mencaci syetan ketika terjadi musibah,
لاَ تَسُبُّوْا الشَّيْطَانَ وَ تَعَوَّذُوْا بِاللهِ مِنْ شَرِّهِ
"Janganlah kalian mencaci maki syetan, sebaliknya berlindunglah kepada Allah dari kejahatannya." (HR. al-Dailami, Tammaam dalam Fawa'idnya dan yang lainnya, sebagaimana yang terdapat dalam Shahihah milik Al-Albani no. 2422)
Dan bagi siapa yang telah terlanjur dan sering mencaci maki syetan seperti dengan ungkapan, "Syetan sialan, syetan terkutuk!" (uangkapan kesal), dan kata-kata semisalnya dengan dalih Syetan ada di balik semua ini, bukan melakukan kebaikan. Sebaliknya, telah melanggar tuntunan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Karenanya, dia harus beristighfar dan memperbaiki diri sehingga hati akan terbina mengeluarkan kata spontan yang mulia. Wallahu Ta'ala A'lam.

Jumat, 15 Juni 2012

Evolusi Mahasiswa dari Tingkat 1 Hingga Tingkat Akhir



Manusia selalu berubah. Seiring dengan berjalannya waktu, pengalaman yang didapatkan, serta perubahan lingkungan, manusia selalu membuat perubahan-perubahan dalam hidupnya agar lebih baik. Salah satu tahap dalam hidup manusia yang penuh dengan perubahan adalah saat mereka kuliah. Selain jadwal yang selalu berubah setiap semesternya, mahasiswa pun berevolusi, seiring dengan lamanya mereka berada di kampus. Setelah melakukan penelitian intensif selama bertahun-tahun, MBDC pun menemukan pola evolusi yang paling umum diikuti oleh para mahasiswa di Indonesia. Inilah dia.
Tingkat 1
Pas tingkat 1, biasanya mahasiswa masih adaptasi sama lingkungan dan orang-orang baru, biasanya pakaiannya lumayan rapih, biar pencitraannya bagus gitu, apalagi di hadapan lawan jenis. Dan karena ketemu temen-temen baru, masih suka jaim, belom ketauan belang-belangnya. Tingkat 1 adalah waktu untuk membangun pencitraan. Kalo soal kuliah, biasanya masih semangat-semangatnya. Semua buku dibawa, dari buku wajib (yang asli impor, harganya 500 ribu), buku suplemen dari perpus, catetan, dan laptop. Kalo ada asistensi/tutor/lab jam 7 malem pun pasti dijabanin. Tugas? Pastinya dikerjain banget!
Tingkat 2
Di tingkat 2 ini biasanya lagi betah-betahnya di kampus, tapi bukan buat kuliah. Setelah mengerti trik-trik ampuh titip absen dan cabut kuliah, anak-anak tingkat 2 ini mulai menyadari kalo kuliah cuma masuk kelas doang itu nggak asik. Mereka mulai aktif di organisasi, ikut kepanitiaan acara ini itu, gabung di perkumpulan mahasiswa, masuk klub olahraga kampus, ikut seminar dll. Biasanya mereka dateng pagi ke kampus. Terus setor muka sama absen di kelas sebentar, abis itu mulai sibuk rapat, team building, seminar ini itu. Penampilan juga udah nggak serapih tingkat 1. Udah mulai akrab sama temen-temen baru, gebetan juga udah dapet, jadi mulai cuek. Biasanya ke kampus pake kaos yang ada logo universitasnya gitu.
Tingkat 3
Di tingkat 3, biasanya udah jarang keliatan di kampus. Bukan karena bolos, tapi jadwal kuliah biasanya udah nggak sepadet 2 tahun pertama. Kalo dulu bisa tiap hari masuk, sekarang bisa cuma 3-4 hari ada kelas. Akibatnya, pas tingkat 3 ini jadi lebih sering jalan-jalan ama seneng-seneng ketimbang kuliah. Karena itu, biasanya pakaiannya lebih cocok buat ke mall daripada ke kampus. Karena jadwal yang lowong ini, masuk kelas biasanya cuma selewat aja. Anak tingkat 3 dateng pagi/siang pas ada kelas, abis selese kelasnya langsung cabut ke tempat lain. Kepanitiaan dan organisasi juga udah nggak se-intense tingkat 2. Karena udah senior, jabatan yang dipegang juga lebih tinggi. Jadi kerjaannya udah nggak ribet waktu masih jadi staf biasa.
Tingkat 4
Tingkat 4 identik dengan skripsi atau tugas akhir. Dan segala aspek kehidupan mahasiswa di tingkat 4 ini, semuanya dipusatkan ke skripsi tersebut. Walaupun kelas tinggal 1 atau bahkan enggak ada, mereka tiap hari nongol di kampus, entah ngetik di perpustakaan ditemani dengan 2 buku yang dibuka plus beberapa fotokopian jurnal atau ngejar-ngejar dosen pembimbing. Gizi mahasiswa tingkat 4 ini biasanya juga buruk, karena stress mikirin skripsi. Muka-mukanya biasanya beler gara-gara kurang tidur ato bete gara-gara skripsinya abis diacak-acak sama dosen pembimbing. Mahasiswa tingkat 4 juga biasanya nggak punya kehidupan sosial yang aktif.
Tingkat 5 (dan seterusnya)
Kenyataan tidak selalu sesuai dengan harapan kita. Di dunia kuliah pun sama. Setelah 4 tahun berjuang keras supaya bisa lulus cepet, ternyata ada aja hal yang bisa menghalangi. Dari ada kelas yang nyangkut, atau dosen pembimbing sensi sama kita, jadinya nggak dilulus-lulusin. Dengan terpaksa, ada beberapa mahasiswa yang harus berevolusi ke mahasiswa semester 9 (dan seterusnya). Jenis yang satu ini banyak ragamnya. Ada yang makin jarang ke kampus karena sibuk sama kerjaan lain (atau udah bodo amat sama kuliahan). Ada yang masih rajin ke kampus karena masih banyak kelas yang belom lulus. Ada juga yang nyangkut di perpustakaan, berusaha keras buat nyelesein tugas akhir yang susahnya setengah mati. Ada juga yang gak jelas ngapain, tapi tiap hari ke kampus, dianggap tetua, trus hobinya gangguin anak-anak tingkat 1. Walaupun jenis ini beraneka ragam, mereka punya sebuah kesamaan, yaitu sebuah alergi pada 2 kata : "Kapan lulus ?"

Nah demikianlah evolusi mahasiswa menurut pengamatan MBDC. Apakah ada yang kurang? Silakan utarakan pendapat kamu di comments.

Senin, 11 Juni 2012

Kisah nyata taubat seorang gay : Ketika saya menemukan diri saya seorang gay




Saya lahir dalam sebuah keluarga Muslim yang ta’at. Semua anggota keluarga saya menjaga sholat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menjalankan semua ritual dan ajaran Islam. Orangtua saya melaksanakan Hajji pada tahun 1970-an. Ada 14 bersaudara dalam keluarga. Saya yang ke-11 dan anak laki-laki yang terakhir dari 5 saudara laki-laki dan 9 saudari perempuan. Saya dekat dengan saudari-saudari perempuan saya dan ibu saya membandingkan dengan saudara-saudara laki-laki saya. Ayah saya meninggal ketika saya berusia 10 tahun.
Saya merasa tertarik kepada laki-laki ketika saya muda. Mungkin rasa itu berkembang ketika saya berusia 10 tauhn. Pada usia 14 tahun, saya tahu bahwa saya tidak ingin untuk menikah karena saya tidak tertarik kepada wanita. Saya berpikir bagaimana saya akan menghadapi saudara dan saudari saya ketika mereka semua akan menikah dan saya tetap single.
Dunia saya membingungkan seiring dengan saya bertanya pada diri sendiri, ‘mengapa laki-laki menikahi wanita ketika dalam kenyataannya mereka mencintai laki-laki?’. Kemudian saya sadar bahwa hanya saya yang merasa hal itu. Saya tidak pernah dilecehkan oleh siapapun. Saya masih tidak tahu mengapa ini mempengaruhi saya.
Pengalaman Sex Sesama Jenis
Entah bagaimana, waktu berlalu begitu cepat dan saya telah menghadapi kenyataan ini bahwa saya masih melajang selamanya. Untungnya, beberapa saudara dan saudari saya telah menikah ketika saya masih belajar di Amerika Serikat. Ketika saya menyelesaikan gelar saya, saya tinggal di Kuala Lumpur, jauh dari keluarga saya. Oleh karena itu, saya bisa melarikan diri dari pertanyaan pernikahan.
Pengalaman sex sesama jenis (Same Sex Experience – SSE) pertama saya dimulai pada saat hari-hari kuliah. Itu terus berlanjut setelah menyelesaikan studi saya ketika saya menetap kembali di Kuala Lumpur. Melangkah lebih jauh, karena pekerjaan saya membawa saya ke Timur Tengah. Selama waktu itu, saya masih terus sholat. Terkadang, saya merasa sangat malu untuk menghadap Allah pada saat sholat karena saya baru saja melakukan sex sebelumnya. Terkadang, saya menanti hingga hari berikutnya. Meskipun karir saya naik, saya merasakan kekacauan dalam hidup saya. Karir saya tidak berjalan semulus yang saya inginkan. Hidup saya kosong dan emosi yang tidak stabil karena saya terus berganti-ganti pasangan. Kemudian, saya membaca sebuah hadits tentang mereka yang melakukan sodomi.
Dua tahun kemudian, saya keluar dari pekerjaan. Saya pikir bahwa itu adalah saat terburuk dalam hidup saya ketika kenyataannya itu adalah saat terbaik yang pernah ada. Saya mulai membaca terjemahan Al-Qur’an. Imam di sebuah Masjid kecil membaca hadits (dari kitab Imam An-Nawawi) setiap pagi setelah sholat Subuh. Saya sekarang menyadari, betapa hadits-hadits ini telah membentuk hidup dan pemikiran saya.

Saya juga membaca biografi Nabi Muhammad (shalallahu ‘alaihi wa sallam) dan biografi 10 sahabat (radhiallahu ‘anhum) yang dijanjikan Jannah. Kisah-kisah ini menggerakkan hati saya. Meskipun dengan semua itu, saya masih melanjutkan SSE saya, karena kebiasaan buruk susah hilang. Selama masa enam bulan bekerja, Allah mengajari saya bagaimana untuk berserah diri kepada-Nya. Ketika saya lapar, tanpa ada makanan untuk dimakan, Allah mengirimkan orang-orang yang menawari saya untuk makan bersama mereka. Saya tidak meminta kepada Allah untuk ini. Dia (Allah) sangat memahami saya. Saya merasa bahagia.
Berserah diri kepada Allah adalah titik balik dalam hidup saya. Membaca terjemahan Al-Qur’an telah mengubah persepsi saya dalam berpikir dan melihat dunia ini. Saya membaca buku Road to Mecca karangan Muhammad Assad. Saya merasa sepenuhnya seperti seorang Muslim yang baru. Namun meskipun dengan semua itu, saya masih melakukan SSE. Kata-kata dari Nabi Luth (‘alaihisalam) kepada ummatnya membuat saya merenung. "Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu," (Huud: 78)
Saya tersenyum sinis, karena saya tahu ummat itu tidak tertarik kepada wanita, bagaiamana dia menawarkan putri-putrinya? Tetapi lagi-lagi, ini adalah perkataan seorang Nabi (yang difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an – pen), pasti ada kebenaran padanya. Maret lalu, ketika saya membaca Al-Qur’an setelah sholat Subuh, saya berdo’a dalam hati bahwa semoga Allah memberikan saya seorang pasangan wanita. Saya ingin mengakhiri semua ini. Saya lelah dengan hidup saya. Saya merasa seperti setiap kali saya mendaki tangga untuk mencapai tingkat keimanan yang lebih tinggi, saya jatuh ketika saya melakukan SSE.
Menikah (Solusi)
Dengan menikah, saya dapat menyalurkan hasrat seksual saya sesuai dengan Islam. Dalam satu minggu, Allah mengirim seseorang yang ingin mengenalkan saya kepada tantenya. (Saya bergumam dalam hati: Seorang tante?). Saya bilang, “Ok, jika saya memiliki waktu.
Kemudian wanita itu dibawa kepada saya pada malam yang sama. Tidak ada percakapan yang banyak kecuali yang dia katakan bahwa perjalanan favoritnya adalah dari rumahnya ke Masjid. Itu adalah kalimat terakhir yang kami bicarakan sebelum saya menundanya untuk ke Masjid untuk sholat ‘Ashar.
Setelah pertemuan pertama, kami berhubungan satu sama lain melalui sms. Dia bertanya kepada saya bahwa ‘Mengapa Saya tidak menikah?’. Saya sedikit terkejut dan menjawab dengan berbagai alasan. Saya benci untuk memberitahukan bahwa kenyataannya saya tidak menikah karena saya homosexual. Setelah sepekan ber-sms-an, saya bertanya kepadanya apakah OK untuk memberitahu ibu saya tentang kami dan saya bahwa saya menemukan seseorang yang tepat. Dia katakan “OK”. Dalam waktu tiga bulan, kami menikah dalam resepsi yang kecil. Allah memberi saya seorang istri (Alhamdulillah). Dia memenuhi 9 dari 10 daftar syarat saya. Saya memberitahukan kepadanya bahwa satu dari yang dia tidak penuhi adalah bahwa dia seorang wanita, bukan seorang laki-laki. Dia tersenyum…Allah memberikan saya kualitas pada dirinya seolah-olah saya menjabarkan daftar syarat saya. Allah sangat memahami saya dengan baik dan mengetahui apa yang membuat saya bahagia. Selama tiga bulan dimana saya mengenalnya (sebelum menikah), saya tidak merasa tertarik padahnya, saya tidak merasa bergairah, begitupun juga dia pada saya. Saya berserah diri hanya kepada Allah dan saya membaca Al-Qur’an yang Dia yang Menaburi perasaan cinta itu.

Saya berdo’a kepada Allah untuk memenuhi kami dengan cinta dan membuat saya merasa bergairah bersamanya. Benarlah, Allah mengabulkan permohonan saya. Selama proses mengenal istri saya, saya bergabung dengan grup di Yahoo, Straight Struggle, yang berbasis di UK, untuk Muslim yang menghadapi Ketertarikan Sesama Jenis (Same Sex Attraction - SSA) di seluruh dunia. Saya berbagi tentang pengalaman hidup saya di grup itu. Saya bahagia, saya membuka jalan dan mendorong beberapa orang untuk mengambil langkah pertama untuk menikah dan melawan ketakutan akan malam pertama pernikahan. Insya Allah, sedikit kontribusi saya semoga akan membimbing banyak keberhasilan heterosexual (ketertarikan terhadap lawan jenis sesuai fitrah manusia -pen) di masa depan, Aamin.

Diterjemahkan dari Onislam, "When I found out I Am a Gay", 31 Mei 2012